Minggu, Maret 09, 2008

AIKIDO BAGI DIRI SAYA*


Awal ketertarikan saya pada Aikido tidak lepas dari kegemaran menonton film-film laga. Dari film-film itulah saya mengenal berbagai macam jenis seni beladiri, termasuk diantaranya Aikido, yang terlihat sebagai suatu seni beladiri yang sangat efisien, dapat bereaksi dengan cepat dan teknik-tekniknya sangat mematikan. Itulah kesan pertama yang saya dapatkan mengenai Aikido. Hal ini pulalah yang menarik minat saya untuk mempelajari seni beladiri Aikido dan berusaha untuk mencari tempat latihan yang ada di sekitar tempat tinggal saya.

Pada saat itu sangatlah sulit untuk mendapatkan informasi mengenai dojo Aikido di kota Bandung, mungkin karena Aikido belum begitu dikenal di Indonesia. Setelah lebih setahun mencari-cari, akhirnya saya mendapat informasi melalui suatu acara talk show di salah satu radio swasta mengenai seni beladiri Aikido dan dojo-dojo Aikido yang ada di kota Bandung. Akhirnya mulai saat itu, saya mendaftarkan diri dan mulai terlibat aktif dalam latihan Aikido di Dojo Padjadjaran Bandung di bawah bimbingan M. Gustiana Sensei (dan-2) dan Rudy Wijaya Sensei (dan-2).

Pada saat pertama mengikuti latihan, ada beberapa perbedaan yang saya rasakan jika dibandingkan dengan seni beladiri lain yang pernah saya ikuti sebelumnya. Demikian pula dengan suasana latihan di dojo dimana seluruh aikidoka berlatih dengan tekun dan terlihat dari sikap mereka yang ceria dan tidak kaku. Selain itu kentalnya suasana kekeluargaan diantara anggota dan pengurus dojo yang terlihat begitu akrab dan bersahaja, membuat saya semakin yakin untuk memilih Aikido.

Setelah mengikuti latihan selama kurang lebih 4,5 tahun ada beberapa hal yang menurut saya sangat berkesan selama periode tersebut, antara lain:

a. Latihan dilaksanakan secara berpasangan (uke-nage)

Setiap aikidoka akan merasakan dua keadaan yang saling bertolak belakang, uke dan nage, “yang kalah” dan “pemenang”, keadaan ini akan melatih kita untuk lebih sabar karena yang dicari bukanlah siapa yang jago atau pemenang tetapi bagaimana seorang aikidoka dapat menguasai teknik-tekniknya dengan baik dan benar. Keadaan ini akan berulang secara terus menerus, berganti-ganti pasangan, yang pada akhirnya kita dapat mengetahui perbedaan karakter dari setiap orang, baik itu bentuk fisik, sifat-sifat, atau cara berpikirnya.

Pada saat kita menjadi uke, kita harus”mengalah” agar nage dapat melakukan tekniknya dengan baik dan benar dan di lain pihak nage pun harus mengontrol dirinya (emosinya) pada saat melakukan tekniknya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya cedera, selama berlangsungnya latihan. Dari kedua kondisi ini akan terjadi hubungan timbal balik yang akan melatih kerjasama, kejujuran dan mengontrol emosi diantara pasangan tersebut.

Mungkin alasan inilah, O’Sensei Morihei Ueshiba tidak membolehkan diadakannya suatu kompetisi formal yang hanya untuk mencari siapa yang kalah dan siapa yang menang.

b. Prinsip-prinsip non kekerasan

Faktor inilah yang membedakan Aikido dengan seni beladiri lain secara spiritual. Aikido bukan saja merupakan seni beladiri yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri dari mara bahaya (bersifat fisik) tetapi Aikido juga mewariskan suatu nilai-nilai spiritual universal yang luhur dan dalam maknanya. Aikido diciptakan tidak hanya untuk melatih kondisi fisik seseorang, tetapi bersamaan dengan itu, kita juga melatih cara berpikir dan semangat (mental) pada nilai-nilai luhur dan kebenaran agar tercipta keseimbangan menuju harmonisasi antara tubuh, pikiran, dan jiwa kita.

Prinsip-prinsip tersebut tidak saja terlihat dari suasana latihan yang ceria tetapi juga melalui teknik-teknik yang digunakan dimana sebagian besar dari teknik-teknik tersebut bersifat defensif dan non-combative.

c. Tidak ada pembedaan antara senior dan junior atau tua dan muda.

Hal ini sering menjadi pertanyaan seseorang yang awam atau berminat untuk mengetahui apa itu Aikido. Dari pengalaman saya, setiap aikidoka akan berlatih dengan teknik yang sama tidak perduli apa tingkatannya atau berapa usianya. Semua teknik akan dipelajari bersama-sama, yang membedakan mungkin hanyalah tingkat penguasaan yang tentu akan berbeda sesuai dengan “jam terbang” latihan yang telah dilalui. Faktor usia bukanlah penghambat untuk melaksanakan latihan, karena kita dapat melakukan berbagai penyesuaian sesuai dengan kondisi yang ada.

Selain dari hal tersebut di atas sebenarnya masih banyak lagi faktor-faktor lain yang sangat berkesan, seperti meningkatnya kondisi kesegaran fisik, menambah rasa percaya diri dan lain-lain.

Latihan yang dilakukan tidaklah membuat kita kecapaian apalagi dilakukan dalam suasana latihan yang ceria sehingga rasa capai tidak akan terlalu terasa dan setelah latihan pun kita masih dapat melakukan aktivitas lain yang akan kita laksanakan. Dengan meningkatnya kualitas kondisi fisik, akan sangat membantu dan menunjang setiap aktivitas yang saya lakukan, utamanya pekerjaan saya, dapat menjadi lebih produktif.

Rasa percaya diri juga akan timbul dengan sendirinya, bukan hanya dalam arti bahwa saya menjadi lebih berani untuk menghadapi suatu tantangan yang sifatnya membahayakan jiwa, tetapi rasa percaya diri untuk melaksanakan setiap tugas yang dibebankan kepada saya. Hal ini saya dapatkan dari pengalaman mengajar/memimpin latihan. Secara tidak sadar kita berlatih untuk berani mengemukakan pendapat kita kepada orang lain dan sekaligus memotivasi dan memacu kita untuk meningkatkan pengetahuan.

Dari uraian tersebut, melalui Aikido saya mendapat begitu banyak manfaat baik yang dapat saya rasakan secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, saya putuskan untuk menekuni Aikido seumur hidup dan jika memungkinkan saya akan melibatkan diri secara aktif dalam pengembangan Aikido khususnya di Indonesia.

* Paper Ujian Kenaikan Tingkat Yudansha (Shodan), Hilton Executive Club, Jakarta 10 Februari 2002. Penguji Koichi Toriumi Shihan (7th-dan)

Tidak ada komentar: