Minggu, Maret 09, 2008

Hubungan antara Teknik Aikido dan Filosofinya*

Aikido terdiri dari dua aspek utama yang membentuknya sebagai sebuah seni beladiri yang mumpuni dan oleh sebagian praktisinya dianggap sebagai seni beladiri spritual. Aspek pertama adalah aspek teknis berupa wasa yang akan dilatih setiap sesi latihan dan yang kedua adalah aspek filosofisnya. Ibarat dua sisi sebuah mata uang, penguasaan pada salah satu sisi (aspek) saja berarti kita belum mengenal Aikido secara proporsional. Pemahaman pada kedua aspek tersebut sangatlah penting dalam membentuk tubuh, jiwa dan mentalitas seorang praktisi (aikidoka) menjadi satu kesatuan untuk mencapai tujuan luhur dari Aikido “mewujudkan harmonisasi” dalam kehidupan yang berlandaskan pada prinsip kasih sayang.

Kaiso, Morihei Ueshiba menyatakan bahwa dalam seni beladiri yang sejati (budo) tidak mempunyai musuh atau lawan. Seni beladiri yang sejati merupakan fungsi dari cinta kasih. Tujuan menjadi seorang praktisi beladiri (pendekar) bukan untuk membunuh atau menghancurkan tetapi senantiasa melindungi (menjaga) kehidupan yang terus-menerus tercipta. Cinta kasih merupakan manifestasi dari keagungan Sang Pencipta yang akan senantiasa melindungi kita. Tanpa cinta kasih tidak akan ada sesuatu bertumbuh. Aikido merupakan manifestasi dari cinta kasih. [Stevans, J., 1996, hal. 103-104]. Prinsip cinta kasih ini merupakan jiwa dari keseluruhan teknik Aikido yang kita praktekkan di dojo.

Teknik tenkan merupakan bagian dari teknik ashi shabaki yang sering kita lakukan saat akan memulai latihan. Dari posisi kamae (migi atau hidari hanmi) kita mulai dengan menggeser kaki ke sisi kiri atau kanan uke (irimi) kemudian memutar tubuh kita ke arah belakang dan setelah itu merentangkan kedua tangan ke depan dalam posisi kedua tangan sejajar. Terlihat jelas bagi kita bahwa teknik ini adalah teknik yang mudah dikuasai dan sangat sederhana. Akan tetapi karena kesederhanaannya itulah beberapa aikidoka cenderung menganggap remeh.

Sebagai contoh dari bentuk serangan katatedori, teknik tenkan bukan sekedar bagaimana kita melakukan putaran tubuh dan kaki (aspek teknis) untuk menetralisir serangan uke, tetapi juga bagaimana kita memahami teknik ini sebagai bagian dari filosofi Aikido yang terintegrasi di dalamnya. Pada saat melakukan teknik ini, dibutuhkan juga pemahaman terhadap prinsip-prinsip ‘aiki’ - harmonisasi tenaga - khususnya kokyu-rokyu, pusat keseimbangan tubuh, dan timing yang tepat untuk melakukan dan memulai teknik ini.

Kokyu merupakan bagian yang tak terpisah dari seluruh teknik-teknik aikido. Secara harfiah kokyu diartikan nafas. Tenaga nafas (kokyu power) senantiasa kita latih melalui teknik-teknik kokyu, misalnya suwari wasa kokyu-ho (kokyu-dosa) yang biasanya dilakukan di bagian akhir sesi latihan. Melalui teknik ini kita belajar untuk mengembangkan tenaga nafas, mengkonsentrasikan tenaga dan sekaligus melatih timing yang tepat dalam mengeksekusi setiap teknik. Pemahaman teknik kokyu yang baik akan sangat menunjang pembentukan kualitas teknik yang baik.

Kondisi tubuh dan pola pikir kita juga akan sangat mempengaruhi keberhasilan suatu teknik. Setiap latihan, tubuh kita harus dalam keadaan rileks. Secara psikologis, dalam kondisi tubuh rileks kita dapat berpikir lebih tenang dan mengatur napas dengan baik. Dengan tubuh yang rileks, kita berkonsentrasi agar dapat merasakan arah tenaga atau dorongan uke sehingga tori (nage) dapat mentralisir serangan tersebut dengan teknik-teknik tertentu dan tori juga dapat mengatur nafas sekaligus menjaga keseimbangan tetap berada pada titik keseimbangan tubuh ‘seika tandem’ yang terletak sekitar 5 cm di bawah pusar.

Perlu dipahami bahwa dalam mempelajari Aikido, setiap aikidoka diharapkan untuk mengembangkan pola berpikir yang positif. Setiap teknik akan dilatih dalam pola berpasangan, tori dan uke. Tori bertindak sebagai orang yang akan mengesekusi suatu teknik, sedangkan uke adalah orang yang menerima teknik. Pada kedua kondisi inilah kita berlatih, belajar merasakan sebagai pihak yang ‘menang’ dan ‘kalah’, agar setiap aikidoka dapat memahami jika berada dalam kondisi demikian. Oleh karena itu, latihan Aikido bukanlah untuk mencari siapa yang menang atau kalah, akan tetapi bagaimana setiap praktisi Aikido dapat berlatih dengan baik tanpa harus menimbulkan konflik atau pertentangan dengan sesamanya.

O’Sensei dalam The Art of Peace menyatakan, “Ingatlah selalu bahwa pikiran kita seterang dan sejernih luasnya langit, banyaknya air di samudra, puncak gunung yang tertinggi, kosong dari semua pikiran. Selalu rasakanlah adanya cahaya dan panas di dalam diri kita. Isi diri kita dengan kebijaksanaan dan pencerahan”. Pada bagian berikutnya, O’Sensei menyatakan, “Ketika kita selalu membedakan segala sesuatunya berdasarkan ‘baik’ dan ‘buruk’ terhadap hal yang dilakukan atau yang ada pada rekan kita, berarti kita telah menciptakan lubang di dalam hati dan membiarkan sifat jahat masuk tanpa terbendung. Menguji, bersaing dan mengkritik hal di luar diri kita hanya akan melemahkan dan mengalahkan kekuatan hati” [Ueshiba, M., 1992, h.32-33].

Pola berpikir positif demikianlah yang harus kita kembangankan di dojo, sehingga akan timbul suasana dojo yang kondusif dimana setiap aikidoka akan berlatih di dojo dengan suasana yang riang, rileks, tanpa mengumbar tenaga yang berlebihan. Akan terlihat senyum di wajah-wajah mereka yang berlatih, senyum yang akan membawa kedamaian bagi yang melihatnya dan menanamkan semangat ‘cinta kasih’ di antara praktisi Aikido sebagai sebuah keluarga. Hal ini terlihat di setiap foto atau video Morihei Ueshiba dalam sesi latihan atau embukai, bagaimana beliau menggambarkan Aikido sebagai beladiri cinta kasih.

Dengan mengintegrasikan berbagai aspek tersebut di atas, kita juga bisa mewujudkan tujuan luhur Aikido yaitu sebagai wahana untuk menyelaraskan tubuh, jiwa dan sikap mentalitas kita menjadi satu kesatuan yang utuh untuk menciptakan kasih sayang dan kedamaian di bumi.

Kesimpulan:

1. Terdapat hubungan yang sangat erat antara teknik Aikido dan filosofinya.

2. Untuk memahami Aikido dengan baik, bukanlah semata-mata mempelajari aspek teknisnya saja. Untuk memahami Aikido secara proporsional, diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap pada prinsip-prinsip dan filosofis Aikido itu sendiri khususnya makna filosofis dibalik setiap teknik atau wasa Aikido. Pemahaman pada kedua aspek tersebut (aspek teknis dan filosofis) dapat menuntun pada peningkatan kualitas teknik dan pada saat yang sama kita mendapatkan manfaat yang optimal dari setiap latihan yang kita lakukan.

3. Dalam setiap sesi latihan, diusahakan agar tubuh kita dalam keadaan relax, berusaha untuk mengembangan pola pikir positive, dan berlatih dalam suasana yang riang gembira.

Referensi:

  1. Ueshiba, K., (2004), The Art of Aikido – Principles and Essential Techniques, 1st Ed. Kodansha International.
  2. Ueshiba, K., (1987), The Spirit of Aikido, 1st Ed. Kodansha International.
  3. Ueshiba, M., (2005), Progressive Aikido – The Essential Element, 1st Ed. Kodansha International.
  4. Ueshiba, M., Ed. Stevans, J., (1992), The Art of Peace, Shambhala Publication.
  5. Stevans, J., (1996), The Shambhala Guide to Aikido, Shambhala Publication.
  6. Stevans, J., (1995), The Secrets of Aikido, 1st Ed., Shambhala Publication.
  7. Dang, P. T., Seiser, L., (2006), Advanced Aikido, Tuttle Publishing.
  8. Suhirman, (2007), Manfaat Aikido Bagi Pembinaan Spiritual Leadership, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
* Paper Ujian Kenaikan Tingkat Yudansha (2nd-dan), Senayan Trade Center (STC), Jakarta, 16 Februari 2008. Penguji Takeshi Kanazawa Shihan (6th-dan).

1 komentar:

celotehq mengatakan...

thank's 4 sharing... suka