Kamis, Juni 05, 2008

Latihan E-SQ dengan Aikido – Mungkinkah?

oleh Yani Pangarungan

Nidan (AF-41774)

ynp_mrk@yahoo.co.id

HP. +62813-44868886 atau +62852-44224466

Melalui sebuah majalah saya membaca artikel tentang ESQ dan email-email di milis Aikido Bandung mengelitik saya untuk menuliskan artikel yang sederhana ini (dalam perjalanan Makassar – Merauke).

Salah seorang pengembang (pakar) bidang ESQ di Indonesia menyatakan bahwa antara IQ (Intellectual Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) haruslah seimbang. Menurutnya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih optimal diperlukan keseimbangan dari ketiga unsur tersebut (intelektual, emosional dan spiritualitas). Apabila salah satu saja yang menonjol maka akan terjadi ketidak-seimbangan (tidak harmonis). Dan melalui berbagai metode temuannyalah, maka ESQ menjadi sangat terkenal sebagai suatu model untuk meningkatkan kemampuan para pekerja korporat sesuai bidang pekerjaan masing-masing.

Dalam dunia modern bahkan global sekarang ini, seseorang dipacu mengejar bentuk-bentuk kecerdasan yang kelihatan (intelektualitas) saja untuk dapat bersaing dalam dunia kerja misalnya sehingga tanpa sadar kita telah menanamkan bibit-bibit ketidak-seimbangan di dalam diri kita. Nah inilah inti dari pelatihan ESQ itu yaitu bagaimana kita diperkenalkan dengan bentuk-bentuk kecerdasan lain yang akan bersinergi dengan intelektualitas seseorang untuk menjalani hidup yang lebih bahagia dan damai.

Dari penjelasan itu, saya menjadi tergelitik pada sebuah pertanyaan. Bukankah Aikido juga menawarkan hal yang demikian?

Menurut Kissomaru Ueshiba, Aikido merupakan sebuah wahana bagi seorang praktisinya untuk melatih tubuh, pikiran (psikologi=emosi) dan jiwanya (spiritual) menjadi satu kesatuan yang harmonis. Pada kondisi yang harmonis itulah akan dapat dihasilkan sesuatu yang optimal (Ueshiba, K., 1984). Berdasarkan hal tersebut maka sangat salahlah jika seseorang dalam berlatih Aikido hanya mengandalkan aspek teknis semata karena fundasi yang dibangun itu masih labil dan masih ada aspek lain yang merupakan penyeimbang agar bisa tercipta harmoni.

Ketika berlatih untuk menghapal wasa-wasa (teknik) yang ada, kemampuan intelektual seseorang akan sangat berpengaruh besar. Oleh karena itu sangat wajarlah jika terdapat perkembangan yang berbeda dari setiap aikidoka. Akan tetapi perkembangan pesat yang didapatkan itu belumlah lengkap karena hanya menekankan pada aspek teknis semata (tubuh saja), sehingga pada suatu saat kelak akan sampai pada titik jenuh, ditandai dengan perasaan seakan-akan teknik-teknik yang selama ini dipelajari tidak berkembang atau stagnan. Nah, pada titik ini akan timbul suatu keadaan dimana praktisi Aikido itu menjadi malas latihan. Timbulnya kebosanan yang disebabkan oleh kekurang-pahaman kita pada apa yang dipelajari. Apabila kita berusaha untuk mencari tahu penyebabnya, barulah kita dapat menyadari bahwa mengejar aspek teknis semata akan terasa ada sesuatu yang kurang. Maka mulailah para praktisi Aikido itu mencari, apa sih yang kurang itu?

Dalam latihan Aikido kita harus senantiasa melatih juga pikiran kita. Hal ini bisa tercipta jika kita membuat diri kita dalam kondisi yang rileks dan senantiasa berpola pikir positif. Latihan itu janganlah dianggap sebagai rutinitas belaka, tetapi bagaimana melatih berpikir dan sekaligus fokus pada setiap teknik yang dilakukan. Dalam keadaan demikian latihan yang menyenangkan akan tercipta dan akan timbul kedamaian di dalam hati praktisinya. Suasana latihan akan menjadi semakin kondusif dan hubungan antara aikidoka menjadi lebih ‘hidup’ dan semarak dalam semangat kekeluargaan. Dengan cara demikian kita telah mulai mengenal dan melatih aspek psikologi (emosional = EQ).

Masih ada satu lagi aspek yang sangat penting untuk dilatih yaitu jiwa (spiritual = SQ). Menurut saya inilah aspek yang sangat jarang dan sangat sulit diajarkan oleh para Sensei serta sangat sulit dipelajari oleh aikidoka. Mengapa demikian?? Pertama karena hal ini bersifat pribadi dan kedua, dengan berbagai latar belakang keyakinan agak sulit menjelaskan dalam satu bahasa yang dapat dimengeti oleh semua orang. Oleh karena itu kunci untuk melatih aspek ini adalah setiap praktisi Aikido sebaiknya bersifat terbuka terhadap keberagaman ‘keyakinan’ sehingga dapat diperoleh sebuah pemahaman yang benar mengenai spritualitas dalam Aikido. Pemahaman spritual akan sangat berkorelasi dengan kualitas spiritual seseorang sesuai dengan keyakinan masing-masing. Aikido menawarkan ‘jalan’ spritual yang universal untuk semua orang tanpa batasan.

Berangkat dari pemahaman tersebut, kemudian timbul pertanyaan, jadi bagaimana cara melatihnya? Salah satu cara yang saya ketahui ialah dalam setiap latihan (juga dalam kehidupan) kita harus senantiasa bersyukur atas segala sesuatu yang telah kita terima dari Yang Mahakuasa. Dengan kondisi demikian kita akan menjadi lebih tenang dan dapat memfokuskan diri pada apa yang akan atau sedang dilakukan sehingga akan dicapai hasil yang optimal. Hal ini terlihat gampang (enteng) saja akan tetapi dalam prakteknya sangat sulit dilakukan.

Dengan melatih tubuh, emosi dan spritulitas Aikido akan membuat setiap gerakan teknik praktisinya menjadi lebih rileks dan mengalir, hubungan kekeluargaan yang erat diantara aikidoka menjadi lebih erat, dan mulai belajar menciptakan ‘surga’ yang membahagiakan tidak saja bagi diri sendiri tetapi juga bagaimana menciptakan ‘surga’ bagi sesama. Jelaslah bahwa pemahaman tentang Aikido haruslah dibangun pada ketika aspek tersebut agar setiap latihan kita tidak datang hanya untuk membuang keringat, akan tetapi kita bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari hasil latihan itu untuk digunakan dalam kehidupan masing-masing.

Membaca buku-buku/literatur Aikido yang bermutu, nonton VCD, diskusi-diskusi dengan sesama Aikidoka atau melalui seminar-seminar dapat membantu kita membangun pemahaman yang benar tentang Aikido. Akan tetapi hal tersebut hanyalah sebagai sarana bantu saja, yang utama tetaplah jam latihan Anda sendiri dengan berusaha mengaplikasikan seluruh apa yang Anda ketahui dari ketiga aspek itu dalam setiap latihan yang dilakukan.

Kesimpulan

Jadi pertanyaan pada judul tulisan di atas jelas sangat memungkinkan melatih ESQ dalam latihan Aikido. Dengan berlatih Aikido sebenarnya kita telah belajar pelatihan ESQ. Aikido juga merupakan media pembelajaran ESQ. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, Sudahkah saya menyadari dan mewujudkannya dalam setiap latihan Aikido saya?

Referensi:

1. Ueshiba, K. (1984), The Spirit of Aikido, Kodansha International: Tokyo.

2. Ueshiba, K. (2004), The Art of Aikido, Kodansha International: Tokyo.

3. Ueshiba, M. , ed. John Stevens (1997), The Art of Peace, Shambala: Boston.

Selasa, Mei 27, 2008

Ujian Kenaikan Tingkat Kyu

Baru-baru ini telah dilaksanakan Ujian Kenaikan Tingkat Kyu di Dojo Bukado – Makassar, tepatnya pada hari Sabtu, 24 Mei 2008. Ujian kali ini merupakan yang kedua kalinya dilaksanakan di Dojo Bukado. Hal ini merupakan pertanda yang positif bahwa semakin banyak peminat seni beladiri Aikido di kota Anging Mamiri.

Ujian kali ini diikuti sebanyak 15 (lima belas) orang peserta yang terdiri dari 9 (sembilan) orang perserta yang mengambil tingkat kyu-5 (gokyu), 5 (lima) orang peserta mengambil tingkat kyu-4 (yonkyu) dan seorang peserta mengambil tingkat kyu-2 (nikyu). Seluruh peserta dinyatakan lulus dan berhak menyandangkan tingkatan yang baru. Khusus kepada peserta yang naik ke kyu-4 diharapkan untuk menggunakan sabuk biru dan kyu-2 menggunakan sabuk coklat.

Selaku pelatih, saya berharap kenaikan tingkat kyu ini, janganlah dijadikan tolok ukur kemampuan Anda sudah lebih baik daripada yang lain, tetapi kiranya kenaikan tingkat ini dimaknai sebagai tanggung jawab untuk memperlihatkan semangat, tanggung jawab dan jiwa seorang aikidoka sejati. Semakin tinggi tingkatan yang Anda capai maka tuntutan dan tanggung jawab yang diharapkan dari Anda semakin tinggi pula. Oleh karena itu, janganlah berpuas diri dengan apa yang telah Anda capai seperti kata pepatah ‘di atas langit masih ada langit’. Berusahalah untuk terus mengasah teknik-teknik Anda utamanya teknik-teknik dasar (basic techniques). Tidak perlu kuatir dengan orang lain atau dengan kekurangan yang kita miliki, tetapi yang menjadi perhatian kita adalah bagaimana Anda bisa berlatih dengan baik, kontinu sambil mengasah terus teknik yang dimiliki maka niscaya seorang aikidoka sejati akan segera lahir.

Senin, Maret 17, 2008

Jadwal Latihan Bukado Dojo

Alamat Dojo: Jl. Sungai Saddang II/16 Makassar
Senin 19.00-21.00 Wita (Instruktur: Yani / dan-2)
Kamis 19.00-21.00 Wita (Instruktur: Yani / dan-2)
Sabtu 19.00-21.00 Wita (Instruktur: Sensei Aoki / dan-5)
CP: Yani Pangarungan
Jl. RSI. Faisal IV/7 Makassar 90222
Telp. (0411) 859322, HP: +62852-44224466

Selasa, Maret 11, 2008

Desain Logo Dojo Unpar



Baru-baru ini pengurus Aikido Dojo Unpar (Universitas Katolik Parahyangan) Bandung, memberikan beberapa alternatif desain logo untuk Dojo Unpar.

Berdasarkan masukan dan komentar dari beberapa rekan-rekan di milis maka kemudian saya berinisiatif membuat desain berdasarkan masukan-masukan serta logo dasar yang diberikan. Kebetulan dulu sering latihan di Unpar juga....... Berikut ini hasil desain yang saya usulkan, digambar dengan CorelDRAW X3.

Senin, Maret 10, 2008

Kanazawa Shihan kunjungi Jakarta



Takeshi Kanazawa Shihan (6th-dan) bersama Naoto Uchida Shidoin (3th-dan) telah mengunjungi Indonesia dalam rangka Hombu Intructional Tour yang dilaksanakan di Senayan Trade Center (STC) - Jakarta tanggal 15-16 Februari 2008.
Pada tgl. 15 Februari 2008 pukul 17.00 - 20.30 dilaksanakan latihan bersama. Beliau menjelaskan teknik-teknik basic aikido. Teknik yang diperagakan terlihat sangat powerful. Oh.. iya beliau ini sering menjadi ukenya Doshu Moriteru Ueshiba dibeberapa buku lho... Tampak hadir dalam latihan itu Toshimichi Aoki Sensei (5th-dan), Kent Sensei (5th-dan) dari Australia, Milda Gustiana Sensei (4th-dan) dari Bandung.

Keesokan harinya diadakan ujian kenaikan tingkat Yudansha yang dikuti sebanyak 24 orang terdiri dari 17 orang ke Shodan (1st-dan) dan 7 orang ke Nidan (2nd-dan), dimana saya juga mengikutinya. Dan dari hasil penilaian Shihan penguji semuanya dinyatakan lulus...
Selamat...

Minggu, Maret 09, 2008

Hubungan antara Teknik Aikido dan Filosofinya*

Aikido terdiri dari dua aspek utama yang membentuknya sebagai sebuah seni beladiri yang mumpuni dan oleh sebagian praktisinya dianggap sebagai seni beladiri spritual. Aspek pertama adalah aspek teknis berupa wasa yang akan dilatih setiap sesi latihan dan yang kedua adalah aspek filosofisnya. Ibarat dua sisi sebuah mata uang, penguasaan pada salah satu sisi (aspek) saja berarti kita belum mengenal Aikido secara proporsional. Pemahaman pada kedua aspek tersebut sangatlah penting dalam membentuk tubuh, jiwa dan mentalitas seorang praktisi (aikidoka) menjadi satu kesatuan untuk mencapai tujuan luhur dari Aikido “mewujudkan harmonisasi” dalam kehidupan yang berlandaskan pada prinsip kasih sayang.

Kaiso, Morihei Ueshiba menyatakan bahwa dalam seni beladiri yang sejati (budo) tidak mempunyai musuh atau lawan. Seni beladiri yang sejati merupakan fungsi dari cinta kasih. Tujuan menjadi seorang praktisi beladiri (pendekar) bukan untuk membunuh atau menghancurkan tetapi senantiasa melindungi (menjaga) kehidupan yang terus-menerus tercipta. Cinta kasih merupakan manifestasi dari keagungan Sang Pencipta yang akan senantiasa melindungi kita. Tanpa cinta kasih tidak akan ada sesuatu bertumbuh. Aikido merupakan manifestasi dari cinta kasih. [Stevans, J., 1996, hal. 103-104]. Prinsip cinta kasih ini merupakan jiwa dari keseluruhan teknik Aikido yang kita praktekkan di dojo.

Teknik tenkan merupakan bagian dari teknik ashi shabaki yang sering kita lakukan saat akan memulai latihan. Dari posisi kamae (migi atau hidari hanmi) kita mulai dengan menggeser kaki ke sisi kiri atau kanan uke (irimi) kemudian memutar tubuh kita ke arah belakang dan setelah itu merentangkan kedua tangan ke depan dalam posisi kedua tangan sejajar. Terlihat jelas bagi kita bahwa teknik ini adalah teknik yang mudah dikuasai dan sangat sederhana. Akan tetapi karena kesederhanaannya itulah beberapa aikidoka cenderung menganggap remeh.

Sebagai contoh dari bentuk serangan katatedori, teknik tenkan bukan sekedar bagaimana kita melakukan putaran tubuh dan kaki (aspek teknis) untuk menetralisir serangan uke, tetapi juga bagaimana kita memahami teknik ini sebagai bagian dari filosofi Aikido yang terintegrasi di dalamnya. Pada saat melakukan teknik ini, dibutuhkan juga pemahaman terhadap prinsip-prinsip ‘aiki’ - harmonisasi tenaga - khususnya kokyu-rokyu, pusat keseimbangan tubuh, dan timing yang tepat untuk melakukan dan memulai teknik ini.

Kokyu merupakan bagian yang tak terpisah dari seluruh teknik-teknik aikido. Secara harfiah kokyu diartikan nafas. Tenaga nafas (kokyu power) senantiasa kita latih melalui teknik-teknik kokyu, misalnya suwari wasa kokyu-ho (kokyu-dosa) yang biasanya dilakukan di bagian akhir sesi latihan. Melalui teknik ini kita belajar untuk mengembangkan tenaga nafas, mengkonsentrasikan tenaga dan sekaligus melatih timing yang tepat dalam mengeksekusi setiap teknik. Pemahaman teknik kokyu yang baik akan sangat menunjang pembentukan kualitas teknik yang baik.

Kondisi tubuh dan pola pikir kita juga akan sangat mempengaruhi keberhasilan suatu teknik. Setiap latihan, tubuh kita harus dalam keadaan rileks. Secara psikologis, dalam kondisi tubuh rileks kita dapat berpikir lebih tenang dan mengatur napas dengan baik. Dengan tubuh yang rileks, kita berkonsentrasi agar dapat merasakan arah tenaga atau dorongan uke sehingga tori (nage) dapat mentralisir serangan tersebut dengan teknik-teknik tertentu dan tori juga dapat mengatur nafas sekaligus menjaga keseimbangan tetap berada pada titik keseimbangan tubuh ‘seika tandem’ yang terletak sekitar 5 cm di bawah pusar.

Perlu dipahami bahwa dalam mempelajari Aikido, setiap aikidoka diharapkan untuk mengembangkan pola berpikir yang positif. Setiap teknik akan dilatih dalam pola berpasangan, tori dan uke. Tori bertindak sebagai orang yang akan mengesekusi suatu teknik, sedangkan uke adalah orang yang menerima teknik. Pada kedua kondisi inilah kita berlatih, belajar merasakan sebagai pihak yang ‘menang’ dan ‘kalah’, agar setiap aikidoka dapat memahami jika berada dalam kondisi demikian. Oleh karena itu, latihan Aikido bukanlah untuk mencari siapa yang menang atau kalah, akan tetapi bagaimana setiap praktisi Aikido dapat berlatih dengan baik tanpa harus menimbulkan konflik atau pertentangan dengan sesamanya.

O’Sensei dalam The Art of Peace menyatakan, “Ingatlah selalu bahwa pikiran kita seterang dan sejernih luasnya langit, banyaknya air di samudra, puncak gunung yang tertinggi, kosong dari semua pikiran. Selalu rasakanlah adanya cahaya dan panas di dalam diri kita. Isi diri kita dengan kebijaksanaan dan pencerahan”. Pada bagian berikutnya, O’Sensei menyatakan, “Ketika kita selalu membedakan segala sesuatunya berdasarkan ‘baik’ dan ‘buruk’ terhadap hal yang dilakukan atau yang ada pada rekan kita, berarti kita telah menciptakan lubang di dalam hati dan membiarkan sifat jahat masuk tanpa terbendung. Menguji, bersaing dan mengkritik hal di luar diri kita hanya akan melemahkan dan mengalahkan kekuatan hati” [Ueshiba, M., 1992, h.32-33].

Pola berpikir positif demikianlah yang harus kita kembangankan di dojo, sehingga akan timbul suasana dojo yang kondusif dimana setiap aikidoka akan berlatih di dojo dengan suasana yang riang, rileks, tanpa mengumbar tenaga yang berlebihan. Akan terlihat senyum di wajah-wajah mereka yang berlatih, senyum yang akan membawa kedamaian bagi yang melihatnya dan menanamkan semangat ‘cinta kasih’ di antara praktisi Aikido sebagai sebuah keluarga. Hal ini terlihat di setiap foto atau video Morihei Ueshiba dalam sesi latihan atau embukai, bagaimana beliau menggambarkan Aikido sebagai beladiri cinta kasih.

Dengan mengintegrasikan berbagai aspek tersebut di atas, kita juga bisa mewujudkan tujuan luhur Aikido yaitu sebagai wahana untuk menyelaraskan tubuh, jiwa dan sikap mentalitas kita menjadi satu kesatuan yang utuh untuk menciptakan kasih sayang dan kedamaian di bumi.

Kesimpulan:

1. Terdapat hubungan yang sangat erat antara teknik Aikido dan filosofinya.

2. Untuk memahami Aikido dengan baik, bukanlah semata-mata mempelajari aspek teknisnya saja. Untuk memahami Aikido secara proporsional, diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap pada prinsip-prinsip dan filosofis Aikido itu sendiri khususnya makna filosofis dibalik setiap teknik atau wasa Aikido. Pemahaman pada kedua aspek tersebut (aspek teknis dan filosofis) dapat menuntun pada peningkatan kualitas teknik dan pada saat yang sama kita mendapatkan manfaat yang optimal dari setiap latihan yang kita lakukan.

3. Dalam setiap sesi latihan, diusahakan agar tubuh kita dalam keadaan relax, berusaha untuk mengembangan pola pikir positive, dan berlatih dalam suasana yang riang gembira.

Referensi:

  1. Ueshiba, K., (2004), The Art of Aikido – Principles and Essential Techniques, 1st Ed. Kodansha International.
  2. Ueshiba, K., (1987), The Spirit of Aikido, 1st Ed. Kodansha International.
  3. Ueshiba, M., (2005), Progressive Aikido – The Essential Element, 1st Ed. Kodansha International.
  4. Ueshiba, M., Ed. Stevans, J., (1992), The Art of Peace, Shambhala Publication.
  5. Stevans, J., (1996), The Shambhala Guide to Aikido, Shambhala Publication.
  6. Stevans, J., (1995), The Secrets of Aikido, 1st Ed., Shambhala Publication.
  7. Dang, P. T., Seiser, L., (2006), Advanced Aikido, Tuttle Publishing.
  8. Suhirman, (2007), Manfaat Aikido Bagi Pembinaan Spiritual Leadership, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
* Paper Ujian Kenaikan Tingkat Yudansha (2nd-dan), Senayan Trade Center (STC), Jakarta, 16 Februari 2008. Penguji Takeshi Kanazawa Shihan (6th-dan).

AIKIDO BAGI DIRI SAYA*


Awal ketertarikan saya pada Aikido tidak lepas dari kegemaran menonton film-film laga. Dari film-film itulah saya mengenal berbagai macam jenis seni beladiri, termasuk diantaranya Aikido, yang terlihat sebagai suatu seni beladiri yang sangat efisien, dapat bereaksi dengan cepat dan teknik-tekniknya sangat mematikan. Itulah kesan pertama yang saya dapatkan mengenai Aikido. Hal ini pulalah yang menarik minat saya untuk mempelajari seni beladiri Aikido dan berusaha untuk mencari tempat latihan yang ada di sekitar tempat tinggal saya.

Pada saat itu sangatlah sulit untuk mendapatkan informasi mengenai dojo Aikido di kota Bandung, mungkin karena Aikido belum begitu dikenal di Indonesia. Setelah lebih setahun mencari-cari, akhirnya saya mendapat informasi melalui suatu acara talk show di salah satu radio swasta mengenai seni beladiri Aikido dan dojo-dojo Aikido yang ada di kota Bandung. Akhirnya mulai saat itu, saya mendaftarkan diri dan mulai terlibat aktif dalam latihan Aikido di Dojo Padjadjaran Bandung di bawah bimbingan M. Gustiana Sensei (dan-2) dan Rudy Wijaya Sensei (dan-2).

Pada saat pertama mengikuti latihan, ada beberapa perbedaan yang saya rasakan jika dibandingkan dengan seni beladiri lain yang pernah saya ikuti sebelumnya. Demikian pula dengan suasana latihan di dojo dimana seluruh aikidoka berlatih dengan tekun dan terlihat dari sikap mereka yang ceria dan tidak kaku. Selain itu kentalnya suasana kekeluargaan diantara anggota dan pengurus dojo yang terlihat begitu akrab dan bersahaja, membuat saya semakin yakin untuk memilih Aikido.

Setelah mengikuti latihan selama kurang lebih 4,5 tahun ada beberapa hal yang menurut saya sangat berkesan selama periode tersebut, antara lain:

a. Latihan dilaksanakan secara berpasangan (uke-nage)

Setiap aikidoka akan merasakan dua keadaan yang saling bertolak belakang, uke dan nage, “yang kalah” dan “pemenang”, keadaan ini akan melatih kita untuk lebih sabar karena yang dicari bukanlah siapa yang jago atau pemenang tetapi bagaimana seorang aikidoka dapat menguasai teknik-tekniknya dengan baik dan benar. Keadaan ini akan berulang secara terus menerus, berganti-ganti pasangan, yang pada akhirnya kita dapat mengetahui perbedaan karakter dari setiap orang, baik itu bentuk fisik, sifat-sifat, atau cara berpikirnya.

Pada saat kita menjadi uke, kita harus”mengalah” agar nage dapat melakukan tekniknya dengan baik dan benar dan di lain pihak nage pun harus mengontrol dirinya (emosinya) pada saat melakukan tekniknya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya cedera, selama berlangsungnya latihan. Dari kedua kondisi ini akan terjadi hubungan timbal balik yang akan melatih kerjasama, kejujuran dan mengontrol emosi diantara pasangan tersebut.

Mungkin alasan inilah, O’Sensei Morihei Ueshiba tidak membolehkan diadakannya suatu kompetisi formal yang hanya untuk mencari siapa yang kalah dan siapa yang menang.

b. Prinsip-prinsip non kekerasan

Faktor inilah yang membedakan Aikido dengan seni beladiri lain secara spiritual. Aikido bukan saja merupakan seni beladiri yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri dari mara bahaya (bersifat fisik) tetapi Aikido juga mewariskan suatu nilai-nilai spiritual universal yang luhur dan dalam maknanya. Aikido diciptakan tidak hanya untuk melatih kondisi fisik seseorang, tetapi bersamaan dengan itu, kita juga melatih cara berpikir dan semangat (mental) pada nilai-nilai luhur dan kebenaran agar tercipta keseimbangan menuju harmonisasi antara tubuh, pikiran, dan jiwa kita.

Prinsip-prinsip tersebut tidak saja terlihat dari suasana latihan yang ceria tetapi juga melalui teknik-teknik yang digunakan dimana sebagian besar dari teknik-teknik tersebut bersifat defensif dan non-combative.

c. Tidak ada pembedaan antara senior dan junior atau tua dan muda.

Hal ini sering menjadi pertanyaan seseorang yang awam atau berminat untuk mengetahui apa itu Aikido. Dari pengalaman saya, setiap aikidoka akan berlatih dengan teknik yang sama tidak perduli apa tingkatannya atau berapa usianya. Semua teknik akan dipelajari bersama-sama, yang membedakan mungkin hanyalah tingkat penguasaan yang tentu akan berbeda sesuai dengan “jam terbang” latihan yang telah dilalui. Faktor usia bukanlah penghambat untuk melaksanakan latihan, karena kita dapat melakukan berbagai penyesuaian sesuai dengan kondisi yang ada.

Selain dari hal tersebut di atas sebenarnya masih banyak lagi faktor-faktor lain yang sangat berkesan, seperti meningkatnya kondisi kesegaran fisik, menambah rasa percaya diri dan lain-lain.

Latihan yang dilakukan tidaklah membuat kita kecapaian apalagi dilakukan dalam suasana latihan yang ceria sehingga rasa capai tidak akan terlalu terasa dan setelah latihan pun kita masih dapat melakukan aktivitas lain yang akan kita laksanakan. Dengan meningkatnya kualitas kondisi fisik, akan sangat membantu dan menunjang setiap aktivitas yang saya lakukan, utamanya pekerjaan saya, dapat menjadi lebih produktif.

Rasa percaya diri juga akan timbul dengan sendirinya, bukan hanya dalam arti bahwa saya menjadi lebih berani untuk menghadapi suatu tantangan yang sifatnya membahayakan jiwa, tetapi rasa percaya diri untuk melaksanakan setiap tugas yang dibebankan kepada saya. Hal ini saya dapatkan dari pengalaman mengajar/memimpin latihan. Secara tidak sadar kita berlatih untuk berani mengemukakan pendapat kita kepada orang lain dan sekaligus memotivasi dan memacu kita untuk meningkatkan pengetahuan.

Dari uraian tersebut, melalui Aikido saya mendapat begitu banyak manfaat baik yang dapat saya rasakan secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, saya putuskan untuk menekuni Aikido seumur hidup dan jika memungkinkan saya akan melibatkan diri secara aktif dalam pengembangan Aikido khususnya di Indonesia.

* Paper Ujian Kenaikan Tingkat Yudansha (Shodan), Hilton Executive Club, Jakarta 10 Februari 2002. Penguji Koichi Toriumi Shihan (7th-dan)