oleh Yani Pangarungan
Nidan (AF-41774)
HP. +62813-44868886 atau +62852-44224466
Melalui sebuah majalah saya membaca artikel tentang ESQ dan email-email di milis Aikido Bandung mengelitik saya untuk menuliskan artikel yang sederhana ini (dalam perjalanan Makassar – Merauke).
Salah seorang pengembang (pakar) bidang ESQ di Indonesia menyatakan bahwa antara IQ (Intellectual Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) haruslah seimbang. Menurutnya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih optimal diperlukan keseimbangan dari ketiga unsur tersebut (intelektual, emosional dan spiritualitas). Apabila salah satu saja yang menonjol maka akan terjadi ketidak-seimbangan (tidak harmonis). Dan melalui berbagai metode temuannyalah, maka ESQ menjadi sangat terkenal sebagai suatu model untuk meningkatkan kemampuan para pekerja korporat sesuai bidang pekerjaan masing-masing.
Dalam dunia modern bahkan global sekarang ini, seseorang dipacu mengejar bentuk-bentuk kecerdasan yang kelihatan (intelektualitas) saja untuk dapat bersaing dalam dunia kerja misalnya sehingga tanpa sadar kita telah menanamkan bibit-bibit ketidak-seimbangan di dalam diri kita. Nah inilah inti dari pelatihan ESQ itu yaitu bagaimana kita diperkenalkan dengan bentuk-bentuk kecerdasan lain yang akan bersinergi dengan intelektualitas seseorang untuk menjalani hidup yang lebih bahagia dan damai.
Dari penjelasan itu, saya menjadi tergelitik pada sebuah pertanyaan. Bukankah Aikido juga menawarkan hal yang demikian?
Menurut Kissomaru Ueshiba, Aikido merupakan sebuah wahana bagi seorang praktisinya untuk melatih tubuh, pikiran (psikologi=emosi) dan jiwanya (spiritual) menjadi satu kesatuan yang harmonis. Pada kondisi yang harmonis itulah akan dapat dihasilkan sesuatu yang optimal (Ueshiba, K., 1984). Berdasarkan hal tersebut maka sangat salahlah jika seseorang dalam berlatih Aikido hanya mengandalkan aspek teknis semata karena fundasi yang dibangun itu masih labil dan masih ada aspek lain yang merupakan penyeimbang agar bisa tercipta harmoni.
Ketika berlatih untuk menghapal wasa-wasa (teknik) yang ada, kemampuan intelektual seseorang akan sangat berpengaruh besar. Oleh karena itu sangat wajarlah jika terdapat perkembangan yang berbeda dari setiap aikidoka. Akan tetapi perkembangan pesat yang didapatkan itu belumlah lengkap karena hanya menekankan pada aspek teknis semata (tubuh saja), sehingga pada suatu saat kelak akan sampai pada titik jenuh, ditandai dengan perasaan seakan-akan teknik-teknik yang selama ini dipelajari tidak berkembang atau stagnan. Nah, pada titik ini akan timbul suatu keadaan dimana praktisi Aikido itu menjadi malas latihan. Timbulnya kebosanan yang disebabkan oleh kekurang-pahaman kita pada apa yang dipelajari. Apabila kita berusaha untuk mencari tahu penyebabnya, barulah kita dapat menyadari bahwa mengejar aspek teknis semata akan terasa ada sesuatu yang kurang. Maka mulailah para praktisi Aikido itu mencari, apa sih yang kurang itu?
Dalam latihan Aikido kita harus senantiasa melatih juga pikiran kita. Hal ini bisa tercipta jika kita membuat diri kita dalam kondisi yang rileks dan senantiasa berpola pikir positif. Latihan itu janganlah dianggap sebagai rutinitas belaka, tetapi bagaimana melatih berpikir dan sekaligus fokus pada setiap teknik yang dilakukan. Dalam keadaan demikian latihan yang menyenangkan akan tercipta dan akan timbul kedamaian di dalam hati praktisinya. Suasana latihan akan menjadi semakin kondusif dan hubungan antara aikidoka menjadi lebih ‘hidup’ dan semarak dalam semangat kekeluargaan. Dengan cara demikian kita telah mulai mengenal dan melatih aspek psikologi (emosional = EQ).
Masih ada satu lagi aspek yang sangat penting untuk dilatih yaitu jiwa (spiritual = SQ). Menurut saya inilah aspek yang sangat jarang dan sangat sulit diajarkan oleh para Sensei serta sangat sulit dipelajari oleh aikidoka. Mengapa demikian?? Pertama karena hal ini bersifat pribadi dan kedua, dengan berbagai latar belakang keyakinan agak sulit menjelaskan dalam satu bahasa yang dapat dimengeti oleh semua orang. Oleh karena itu kunci untuk melatih aspek ini adalah setiap praktisi Aikido sebaiknya bersifat terbuka terhadap keberagaman ‘keyakinan’ sehingga dapat diperoleh sebuah pemahaman yang benar mengenai spritualitas dalam Aikido. Pemahaman spritual akan sangat berkorelasi dengan kualitas spiritual seseorang sesuai dengan keyakinan masing-masing. Aikido menawarkan ‘jalan’ spritual yang universal untuk semua orang tanpa batasan.
Berangkat dari pemahaman tersebut, kemudian timbul pertanyaan, jadi bagaimana cara melatihnya? Salah satu cara yang saya ketahui ialah dalam setiap latihan (juga dalam kehidupan) kita harus senantiasa bersyukur atas segala sesuatu yang telah kita terima dari Yang Mahakuasa. Dengan kondisi demikian kita akan menjadi lebih tenang dan dapat memfokuskan diri pada apa yang akan atau sedang dilakukan sehingga akan dicapai hasil yang optimal. Hal ini terlihat gampang (enteng) saja akan tetapi dalam prakteknya sangat sulit dilakukan.
Dengan melatih tubuh, emosi dan spritulitas Aikido akan membuat setiap gerakan teknik praktisinya menjadi lebih rileks dan mengalir, hubungan kekeluargaan yang erat diantara aikidoka menjadi lebih erat, dan mulai belajar menciptakan ‘surga’ yang membahagiakan tidak saja bagi diri sendiri tetapi juga bagaimana menciptakan ‘surga’ bagi sesama. Jelaslah bahwa pemahaman tentang Aikido haruslah dibangun pada ketika aspek tersebut agar setiap latihan kita tidak datang hanya untuk membuang keringat, akan tetapi kita bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari hasil latihan itu untuk digunakan dalam kehidupan masing-masing.
Membaca buku-buku/literatur Aikido yang bermutu, nonton VCD, diskusi-diskusi dengan sesama Aikidoka atau melalui seminar-seminar dapat membantu kita membangun pemahaman yang benar tentang Aikido. Akan tetapi hal tersebut hanyalah sebagai sarana bantu saja, yang utama tetaplah jam latihan Anda sendiri dengan berusaha mengaplikasikan seluruh apa yang Anda ketahui dari ketiga aspek itu dalam setiap latihan yang dilakukan.
Kesimpulan
Jadi pertanyaan pada judul tulisan di atas jelas sangat memungkinkan melatih ESQ dalam latihan Aikido. Dengan berlatih Aikido sebenarnya kita telah belajar pelatihan ESQ. Aikido juga merupakan media pembelajaran ESQ. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, Sudahkah saya menyadari dan mewujudkannya dalam setiap latihan Aikido saya?
Referensi:
1. Ueshiba, K. (1984), The Spirit of Aikido, Kodansha International: Tokyo.
2. Ueshiba, K. (2004), The Art of Aikido, Kodansha International: Tokyo.
3. Ueshiba, M. , ed. John Stevens (1997), The Art of Peace, Shambala: Boston.